Selamat membaca, selamat berlinang air mata
Tajuk: Bisikku Pada Bintang Kejora
Indri Febriani, itu namaku. Dulu, aku sempat hendak memiliki nama Indri Ayu Febriani. Namun itu tak sempat terjadi, karena Ibuku tak ingin anaknya memiliki nama yang panjang, sulit dihafal tuturnya. Aku memiliki sepasang Ayah. Dulu aku pernah satu atap dengan Ayah kandungku. Namun, sekarang aku hidup bersama Ibuku dan Ayah tiriku. Kedua orangtua kandungku bercerai kala aku masih belum dapat menghafal abjad dan angka. Kedua orangtuaku berpisah saat aku belum hafal betul wajah Ayahku seperti apa. Sampai saat ini aku memiliki pertanyaan yang cukup membingungkan untuk dijawab langit ataupun burung yang berkicau memutar. Apa sebutan yang aku torehkan untuk orangtua kandung laki-laki itu? Apa aku memanggil dengan sebutan 'Ayah'? Atau mungkin 'Papa'? Oh, ayolah penguasa langit dan samudera lepas, beri tahu aku! Aku sudah pelik dengan pertanyaan tak bertuan itu.
Saat aku menginjak umur dua tahun, waktuku hanya dihabiskan bermain dengan Nenekku dan Ibuku. Tak ada belaian kasih sayang Ayah waktu itu. Jangankan bertemu, saling sapa di layar ponsel saja tidak pernah. Bagaimana aku bisa merasakan bagaimana cinta tulus dari Ayah? Maksudku, Ayah kandung, itu lebih tepat. Waktu t'lah termakan ratusan juta menit dan milyaran detik. Hingga rambut keriting yang kubina sejak lahir, t'lah bertransformasi menjadi rambut lurus tak ada jejak rambut keritingku sama sekali. Hingga saat itu, aku masih belum tahu bagaimana wajah Ayah kandungku. Apakah dia tampan? Atau dia juga memiliki rambut keriting seperti anaknya? Aku bosan dengan khayalan yang kulontarkan tiap malam, dari umur dua tahun hingga umur dua belas tahun.
Aku pernah mendengar saat Ibuku bersambung suara lewat ponselnya dengan Bibiku, adik Ibuku. Mereka membicarakan tentangku, serta tentang Ayah kandungku. Ternyata Ibuku tak sungkan tuk lenyap dari bina rumah tangga yang terjalin atas dasar cinta dengan Ayah kandungku. Hal ini tak semata-mata dilakukan tanpa sebab, namun memang itu ulah Ayahku. Ayahku tak pernah sekalipun mengintip bagaimana kondisi istri dan anaknya di desa. Yang kudengar, Ayahku seorang TKI di Malaysia. Apa semua TKI memiliki sikap tak bertanggung jawab seperti Ayahku? Apa memang pekerjaan itu tak layak tuk dienyam? Ah sudahlah, itu garis takdir untukku, pikirku.
"Bu, kita mau kemana?" kalimat tanya yang kuluncurkan saat aku digandeng Ibu masuk ke dalam angkutan umum. Mengitari hiruk-piruknya udara panas di Surabaya. Kota impian sekaligus saksi bisu atas perjuangan para pahlawan, "Bu, kita mau kemana sih?" aku mencoba tuk mengulangi perkataanku itu, siapa tahu Ibuku mau menjawabnya, namun nahas, satu titik perkataan saja tak mau dikeluarkan Ibu dari bibir manisnya. Hingga aku dan Ibu turun dari angkutan umum dan berhenti di ujung jalan, sungguh asing bagiku, namun tidak dengan Ibu. Langkah demi langkah kulontarkan mengikuti bayangan Ibu, tak sekalipun Ibu berbicara denganku. Satu rumah yang membuat langkah Ibu berhenti. Diketuklah pintu berwarna khas kayu, salam juga t'lah didaratkan siang hari itu.
"Silahkan masuk, Mbak." Ucap pemilik rumah dengan nada lembut dan memukau. Aku masih belum mengingat apapun tentang pemilik rumah ini, tapi aku yakin, aku pernah berjumpa dengan pemilik rumah ini. Ternyata benar, Ibu menoleh ke arahku lantas berucap, "Loh indri lupa sama Tante Nining? Tante ini yang sering gendong kamu waktu bayi saat kita masih tinggal di Tulungagung." Seketika ingatanku menguat, Tante Nining yang sering gemas dengan pipi gempalku. Oh tidak, maksudku dengan rambut keritingku.
"Anakmu sudah besar ya, Mbak?" ucap Tante Nining seraya mengecup pelan dahiku yang sebelumnya terguyur air keringat akibat hawa panas saat di angkutan umum. Ibuku hanya tersenyum kecut. Lagi-lagi ada hal yang membuat otakku bekerja keras, seperti kerja rodi. Tante Nining mondar-mandir keluar-masuk rumah, seperti menunggu seseorang. Benar saja! Dugaanku tak meleset sedikitpun, semenit kemudian datanglah seorang laki-laki, cukup berumur lantas masuk ke dalam rumah Tante Nining. Ia langsung mendekapku sangat erat, mengecupku penuh makna, sepasang mata binarnya berlinang air mata saat menatapku. Tentu saja aku heran, orang ini siapa? Mengapa dia seperti begitu menyayangiku?
"Apa kabar, Nak? Ayah rindu sama kamu." Seketika itu jantungku terasa kekurangan asupan oksigen. Mataku terasa memerah. Napasku seperti terpenggal akan kekecewaan sekaligus perasaan senang secara bersamaan. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Apa aku harus merasa senang karena bertemu dengan seseorang yang buatku terus menanti? Apa aku harus mendahulukan rasa kekecewaanku?
Yang pasti, aku memiliki dua hal yang menghiasi warna hidupku. Yang pertama harapan. Harapan yang s'lalu kutitipkan pada rembulan malam saat aku hendak tidur, harapan yang s'lalu kusematkan dalam mimpi indahku, berharap Ayah akan menemuiku sebelum aku menghilang dari bumi ini. Harapanku cukup sederhana, "Bumi, tolong gapai tanganku lantas kau sambungkan dengan tangan Ayahku. Bintang kejora, tolong pertemukan aku dengan Ayahku, aku ingin merasakan rasa kasih sayang darinya. Aku iri dengan teman-temanku yang s'lalu dikecup Ayahnya tiap pagi di gerbang sekolah. Sedangkan aku? Tak seberuntung itu. Tolong, sampaikan harapan kecilku ini pada Tuhan, semoga Tuhan memberiku waktu bahagia bersama Ayahku meski sedetik saja."
Harapan singkat namun tertanam di eluhku, seakan bertolak belakang dengan rasa syukurku pada penguasa langit. Rasa syukur itu adalah hal kedua setelah harapan yang menemani rona wajahku dan kehidupanku. Rasa syukur akan kenikmatan Tuhan t'lah membuatku lupa akan harapan yang kusematkan sebelum tidur malam. Aku bersyukur masih dapat memandang Ibu dan orang terdekatku. Aku bersyukur masih dapat merasakan kenikmatan saat Ibu membacakan dongeng untukku. Dongeng yang menghantarkanku pada alam bawah sadar nantinya. Aku bersyukur, meskipun tak seberuntung teman-temanku, aku masih dapat mendapat secuil kasih sayang dari Ayah, Ayah tiriku. Ayah tiriku memang tak sama dengan Ayah kandungku, tapi aku bersyukur. Ayah tiriku memiliki segudang perhatian dan sekarung tanggung jawab atas puing-puing tulang rusuknya itu, yakni Ibuku dan aku.
Sejak bertemu dengan Ayah kandungku enam tahun silam, aku mulai menampakkan sikap kedewasaanku pada umur tujuh belas tahun ini. Aku sadar, berlarut-larut dalam harapan palsu tak membuat hidupku berubah. Hidupku terus dipenuhi awan gelap dan kesedihan. Namun sekarang, aku ubah pikiranku menuju rasa syukur yang s'lalu mendahului bayanganku. Awan gelap tanda kesedihan t'lah kugantikan dengan awan cerah tanda kekuatan, keceriaan dan perubahan menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih Ibu, kedua Ayahku, Nenek, Bibi dan semuanya. Maaf aku lupa mengatakan pada rembulan malam, bintang kejora dan segenap penguasa langit yang sabar mendengarkan curahan hatiku kala malam tiba. Indri pamit dengan segala rasa hormat untuk kalian. Selamat menikmati rangkaian kata yang kusuguhkan tanpa secangkir teh melati menemani.
Surabaya, 12 April 2019
Indri Febriani, peracik kata