Kamis, 11 April 2019

Hope and Gratefulness

Selamat membaca, selamat berlinang air mata

Tajuk: Bisikku Pada Bintang Kejora

Indri Febriani, itu namaku. Dulu, aku sempat hendak memiliki nama Indri Ayu Febriani. Namun itu tak sempat terjadi, karena Ibuku tak ingin anaknya memiliki nama yang panjang, sulit dihafal tuturnya. Aku memiliki sepasang Ayah. Dulu aku pernah satu atap dengan Ayah kandungku. Namun, sekarang aku hidup bersama Ibuku dan Ayah tiriku. Kedua orangtua kandungku bercerai kala aku masih belum dapat menghafal abjad dan angka. Kedua orangtuaku berpisah saat aku belum hafal betul wajah Ayahku seperti apa. Sampai saat ini aku memiliki pertanyaan yang cukup membingungkan untuk dijawab langit ataupun burung yang berkicau memutar. Apa sebutan yang aku torehkan untuk orangtua kandung laki-laki itu? Apa aku memanggil dengan sebutan 'Ayah'? Atau mungkin 'Papa'? Oh, ayolah penguasa langit dan samudera lepas, beri tahu aku! Aku sudah pelik dengan pertanyaan tak bertuan itu.

Saat aku menginjak umur dua tahun, waktuku hanya dihabiskan bermain dengan Nenekku dan Ibuku. Tak ada belaian kasih sayang Ayah waktu itu. Jangankan bertemu, saling sapa di layar ponsel saja tidak pernah. Bagaimana aku bisa merasakan bagaimana cinta tulus dari Ayah? Maksudku, Ayah kandung, itu lebih tepat. Waktu t'lah termakan ratusan juta menit dan milyaran detik. Hingga rambut keriting yang kubina sejak lahir, t'lah bertransformasi menjadi rambut lurus tak ada jejak rambut keritingku sama sekali. Hingga saat itu, aku masih belum tahu bagaimana wajah Ayah kandungku. Apakah dia tampan?  Atau dia juga memiliki rambut keriting seperti anaknya? Aku bosan dengan khayalan yang kulontarkan tiap malam, dari umur dua tahun hingga umur dua belas tahun.

Aku pernah mendengar saat Ibuku bersambung suara lewat ponselnya dengan Bibiku, adik Ibuku. Mereka membicarakan tentangku, serta tentang Ayah kandungku.  Ternyata Ibuku tak sungkan tuk lenyap dari bina rumah tangga yang terjalin atas dasar cinta dengan Ayah kandungku. Hal ini tak semata-mata dilakukan tanpa sebab, namun memang itu ulah Ayahku. Ayahku tak pernah sekalipun mengintip bagaimana kondisi istri dan anaknya di desa. Yang kudengar, Ayahku seorang TKI di Malaysia. Apa semua TKI memiliki sikap tak bertanggung jawab seperti Ayahku? Apa memang pekerjaan itu tak layak tuk dienyam? Ah sudahlah, itu garis takdir untukku, pikirku.

"Bu, kita mau kemana?" kalimat tanya yang kuluncurkan saat aku digandeng Ibu masuk ke dalam angkutan umum. Mengitari hiruk-piruknya udara panas di Surabaya. Kota impian sekaligus saksi bisu atas perjuangan para pahlawan, "Bu, kita mau kemana sih?"  aku mencoba tuk mengulangi perkataanku itu, siapa tahu Ibuku mau menjawabnya, namun nahas, satu titik perkataan saja tak mau dikeluarkan Ibu dari bibir manisnya. Hingga aku dan Ibu turun dari angkutan umum dan berhenti di ujung jalan, sungguh asing bagiku, namun tidak dengan Ibu. Langkah demi langkah kulontarkan mengikuti bayangan Ibu, tak sekalipun Ibu berbicara denganku. Satu rumah yang membuat langkah Ibu berhenti. Diketuklah pintu berwarna khas kayu, salam juga t'lah didaratkan siang hari itu.

"Silahkan masuk, Mbak."  Ucap pemilik rumah dengan nada lembut dan memukau. Aku masih belum mengingat apapun tentang pemilik rumah ini, tapi aku yakin, aku pernah berjumpa dengan pemilik rumah ini. Ternyata benar, Ibu menoleh ke arahku lantas berucap, "Loh indri lupa sama Tante Nining? Tante ini yang sering gendong kamu waktu bayi saat kita masih tinggal di Tulungagung."  Seketika ingatanku menguat, Tante Nining yang sering gemas dengan pipi gempalku. Oh tidak, maksudku dengan rambut keritingku.

"Anakmu sudah besar ya, Mbak?"  ucap Tante Nining seraya mengecup pelan dahiku yang sebelumnya terguyur air keringat akibat hawa panas saat di angkutan umum. Ibuku hanya tersenyum kecut. Lagi-lagi ada hal yang membuat otakku bekerja keras, seperti kerja rodi. Tante Nining mondar-mandir keluar-masuk rumah, seperti menunggu seseorang. Benar saja! Dugaanku tak meleset sedikitpun, semenit kemudian datanglah seorang laki-laki, cukup berumur lantas masuk ke dalam rumah Tante Nining. Ia langsung mendekapku sangat erat, mengecupku penuh makna, sepasang mata binarnya berlinang air mata saat menatapku. Tentu saja aku heran, orang ini siapa? Mengapa dia seperti begitu menyayangiku?

"Apa kabar, Nak? Ayah rindu sama kamu."  Seketika itu jantungku terasa kekurangan asupan oksigen. Mataku terasa memerah. Napasku seperti terpenggal akan kekecewaan sekaligus perasaan senang secara bersamaan. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Apa aku harus merasa senang karena bertemu dengan seseorang yang buatku terus menanti? Apa aku harus mendahulukan rasa kekecewaanku?

Yang pasti, aku memiliki dua hal yang menghiasi warna hidupku. Yang pertama harapan. Harapan yang s'lalu kutitipkan pada rembulan malam saat aku hendak tidur, harapan yang s'lalu kusematkan dalam mimpi indahku, berharap Ayah akan menemuiku sebelum aku menghilang dari bumi ini. Harapanku cukup sederhana, "Bumi, tolong gapai tanganku lantas kau sambungkan dengan tangan Ayahku. Bintang kejora, tolong pertemukan aku dengan Ayahku, aku ingin merasakan rasa kasih sayang darinya. Aku iri dengan teman-temanku yang s'lalu dikecup Ayahnya tiap pagi di gerbang sekolah. Sedangkan aku? Tak seberuntung itu. Tolong, sampaikan harapan kecilku ini pada Tuhan, semoga Tuhan memberiku waktu bahagia bersama Ayahku meski sedetik saja."

Harapan singkat namun tertanam di eluhku, seakan bertolak belakang dengan rasa syukurku pada penguasa langit. Rasa syukur itu adalah hal kedua setelah harapan yang menemani rona wajahku dan kehidupanku. Rasa syukur akan kenikmatan Tuhan t'lah membuatku lupa akan harapan yang kusematkan sebelum tidur malam. Aku bersyukur masih dapat memandang Ibu dan orang terdekatku. Aku bersyukur masih dapat merasakan kenikmatan saat Ibu membacakan dongeng untukku. Dongeng yang menghantarkanku pada alam bawah sadar nantinya. Aku bersyukur, meskipun tak seberuntung teman-temanku, aku masih dapat mendapat secuil kasih sayang dari Ayah, Ayah tiriku. Ayah tiriku memang tak sama dengan Ayah kandungku, tapi aku bersyukur. Ayah tiriku memiliki segudang perhatian dan sekarung tanggung jawab atas puing-puing tulang rusuknya itu, yakni Ibuku dan aku.

Sejak bertemu dengan Ayah kandungku enam tahun silam, aku mulai menampakkan sikap kedewasaanku pada umur tujuh belas tahun ini. Aku sadar, berlarut-larut dalam harapan palsu tak membuat hidupku berubah. Hidupku terus dipenuhi awan gelap dan kesedihan. Namun sekarang, aku ubah pikiranku menuju rasa syukur yang s'lalu mendahului bayanganku. Awan gelap tanda kesedihan t'lah kugantikan dengan awan cerah tanda kekuatan, keceriaan dan perubahan menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih Ibu, kedua Ayahku, Nenek, Bibi dan semuanya. Maaf aku lupa mengatakan pada rembulan malam, bintang kejora dan segenap penguasa langit yang sabar mendengarkan curahan hatiku kala malam tiba. Indri pamit dengan segala rasa hormat untuk kalian. Selamat menikmati rangkaian kata yang kusuguhkan tanpa secangkir teh melati menemani.

Surabaya, 12 April 2019

Indri Febriani, peracik kata

Kamis, 22 November 2018

NOVEL PERDANAA.. WAWW.. AYO DIBORONG

Assalamualaikum wr.wb😊😇

Bagi kalian yang hobi mengoleksi novel ataupun hobi baca novel📚📖 Aku ngerekomendasiin novel perdanaku yang bergenre Religi & pastinya penuh misteri. Judulnya "Day of My Death."

Bagi kalian yang berminat bisa pesan langsung ke aku. Karna bakal ada diskon khusus, tunggu apalagi!! Diskon khusus ini hanya sampai tanggal 24 November 2018 aja lho!!🤩🤗

Untuk info lebih lanjut seputar novel ini, bisa menghubungi kontakku⬇
📲WA: 085232192930 (Indri Febriani)
📲Facebook: Indri Febriani (In-dry)

Salam literasi dan terus berkarya tanpa henti👋🏼⏳

Tak ada batu yang tak bercelah saat tersentuh air💦
Tak ada mentari yang tak tenggelam saat purnama datang🌝
Tak ada kata terlambat tuk menghidupkan aksara di negeri pertiwi🌟

Info Spesifik Seputar Novel "Day of My Death."

Judul novel: Day of My Death
PENULIS: Indri Febriani
ISBN: 978-602-443-604-9
Penerbit : Guepedia Publisher
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal :  168 halaman
Harga Khusus (hanya sampai tgl 24Nov2018): Rp 45.000
Harga normal: Rp 77.000

Sinopsis:

Erin, gadis remaja yang sehari-harinya tampil dengan kaca mata minus empat, frame kaca mata berwarna biru laut. Cantik, mempesona dan pintar. Itulah tiga kata dengan satu konjungsi yang selalu orang lontarkan saat melihatnya dengan sepasang mata dan seperangkat kelopak. Erin, semasa remajanya tak banyak menimbulkan tawa. Tak banyak menorehkan cerita indah. Sebaliknya, dirinya s’lalu dirundung imajinasi yang kuat dan aneh dalam dunia lain. Terus dan terus mengguruhinya.

Apakah kata pujian itu akan selalu terucap dengan lembut dan ramah? Meskipun keadaan gadis cantik itu tak seperti semula?  Bukan wajah yang berubah, ataupun badannya yang berubah menjadi gemuk. Tetapi, perilaku gadis berbobot 43 kilogram ini tengah mengalami kehidupan yang teronta-ronta saat ini. Sejak saat itu, satu-persatu mitos menyelimuti kehidupannya, bak matahari yang tertutup jahatnya awan gelap dan sadisnya badai besar.

Hanya termenung, memojok, melamun atau bahkan menangis dan tertawa sendiri. Bukan gila, lebih tepatnya ia mengalami ilusi yang berlebihan atau stress. Stress memikirkan mitos tentang kematian yang akan menjemputnya dalam kurun waktu yang dekat. Papa, Mama dan seluruh kerabatnya merasa bersalah akan kejadian yang menimpa Erin. Karena mereka menganggap bahwa ilusi dan imajinasi yang berlebihan akan kematian bersumber dari pengaruh kehidupan sehari-hari keluarganya dan mitos yang belum pasti kebenarannya. Semuanya akan terlihat baik-baik saja saat mega mendung di kehidupan gadi berhijab itu pergi dan lenyap dari permukaan bumi. Mendung dan asap kelabu akan tergantikan dengan pancaran Sang surya yang megah dan menyenangkan. Terus Erin mencoba untuk bangkit dari keterpurukan dan duka yang t’lah lalu.

Minggu, 21 Oktober 2018

Sederet Ucapan Teruntuk Pemilik Mata Indah

Selamat Ulang Tahun Untukmu..

Untukmu yang tersenyum saat membaca puluhan kata ini, aku harap pesan singkat ini kan membekas di dalam nalurimu.

Di umur yang baru, kuharap sorotan retina mata milikmu kan semakin indah
Di umur yang semakin dewasa ini, kuharap senyum manismu kan s'lalu menopang kesedihan di pundak

Aku berpesan pada bintang kejora, tuk menatapmu saat kau terlelap syahdu
Aku berbisik pada lentera malam, tuk menjaga mimpi indahmu bersama sang rembulan

Aku berdoa pada penguasa bumi, tuk menjagamu setiap detik

Saat sepertiga malam menyapa, aku berdoa pada penguasa langit, tuk s'lalu menghadiahimu kemudahan akan urusan dunia ataupun urusan akhirat

Untukmu.. D.O.R

Aku bermunajat..
S'lalu..

Agar setiap langkahmu , digandeng oleh tawa dan kebahagiaan
Agar pijakan kakimu, trus diselingi rasa haru akan nikmat dan karunia-Nya

Pesanku, jangan sesekali menorehkan luka pada hati ibu dan bapak..
Jangan sesekali membuat alasan mereka tuk menangis saat kau terlelap..
Jangan sesekali kamu membiarkan mereka menopang kerasnya hujan batu sendirian..

Kuatkanlah mereka.. Sayangi mereka, selama mereka masih dapat melihatmu tertawa dan berbahagia..

Dengan ini, kuucapkan, selamat ulang tahun untukmu.. Tak ada kata yang bermakna selain mendoakanmu di penghujung waktu..

Dari peracik rasa

Selasa, 03 Juli 2018

Juara II FLS2N 2018 Kategori Cipta Puisi se-Kabupaten Sidoarjo

Tajuk: Keadilan yang terpendam

Karya: Indri Febriani

Langkah kaki penguasa kejam nan garang itu membuat hati para cacing tersendu
Rintikan air mata tak kunjung reda dan pupus
Perut terus mendesis dan menginginkan sesuap nasi tuk mengganjal kepedihan
Timbangan keadilan itu tak kunjung seimbang

Deretan kursi penguasa bak kebun kaktus yang teramat menyakiti
Jajaran tikus berdasi bahkan tak menampakkan kesedihan walau sebesar biji padi
Senyum mengembang bak embun pagi menyegarkan
Wibawa seakan melumpuhkan senyum sempurna dari rakyat terinjak

Oh, bumi pertiwi nan agung
Tunjukkan muka baja si rakus pemakan hak rakyat
Luapkan segala amarah menggunung dari ribuan mata berlinang
Kuburlah tahta hitam yang telah memenggal setombak harapan rakyat tuk hidup

Oh, langit megah nan gagah
Jadilah saksi dari keadilan yang rapuh di negeri agraris ini
Jadilah bukti kenistaan hak asasi seluruh manusia penuh dosa
Jadilah serpihan kesenangan sementara tuk puluhan ribu jiwa yang pedih

Kami hanya rumput liar yang tak pernah merasakan kemewahan
Kami sebatas telunjuk yang mengacung tuk merebut kembali sesuap nasi
Kami bukan tanaman kaktus yang dapat bertahan meski diterjang panasnya lahar kelaparan
Kami bukan bebatuan yang tak pernah padam akan hentakan ombak bergulir

Kami serentak akan menghidupkan keadilan yang amat dirindukan
Tikus berdasi tak berhati itu pantas lengser dari jajaran penguasa negeri
Seru kebebasan seluruh rakyat sengsara bangkit dari penjara keterpurukan
Bangkit indonesiaku! Bangkitkan keadilan dan seimbangkan timbangan kemanusiaan ini!

🍀🍀🍀

Wattpad penulis: Assalandi
Facebook: Indri Febriani

Selasa, 10 April 2018

Cerpen Bertemakan Anti Korupsi


Lentera Keadilan




Seorang lelaki tampan dengan gagah menerjang sekumpulan rakyat yang tengah kelaparan. Berbekal spanduk bekas, toak dan semangat layaknya anjing menggonggong dengan hebat. Kilat lampu terpancar dari sisi kanan, memantulkan cahaya ke arah seorang lelaki menjuntai dengan rantai di tangan. Hanya mata yang terlihat. Kegaduhan semakin lama semakin menjadi jadi. Gendang telinga nampak tak kuat menopang suara halus sekalipun.
 
"Semuannya diam!!" teriak lelaki gagah dari sudut halaman gedung bertajuk kantor polisi. Seketika suasana menghening, hanya hembusan napas yang terdengar jelas. Semua mata tertuju padanya, pria berjas hitam dengan koper melekat sempurna di tangan kanannya.

"Siapa dia!! Pasti teman serigala itu! Hujat dia!" teriakan seorang wanita berambut kepang belakang.

Tak ada sautan. Beberapa detik kemudian ada yang menyaut,

"Kau bodoh! Kau tak tahu siapa pria gagah itu?" ucap salah seorang massa yang menuntut timbangan seimbang.

"Memangnya siapa dia? Begitu pentingkah dia bagi kalian semua? Hingga melupakan tujuan awal datang ke tempat terkutuk ini!!" sahut wanita itu dengan emosi meluap.

"Dia jaksa muda berbakat, sudah tidak asing lagi baginya menangani kasus seperti ini. Kami semua yakin, dia akan mengadili kasus korupsi dengan seadil-adilnya. Negara ini akan roboh jika tak ada jaksa muda itu!" jawabnya dengan keadaan suasana semakin menghening.

Obrolan rakyat terinjak telah usai.

"Lakukan yang terbaik untuk kami!! Hukum mati koruptor itu!"
Kekompakan mereka semakin membuat jaksa muda menginginkan tonggak kebenaran dan keadilan berkibar di negeri ini. Sontak hati nurani akan membangkitkan bunga layu tuk kembali bermekaran menghirup udara tanpa kekang. Esok akan tercabut segerombol parasit bunga untuk menentramkan kehidupan di negeri ini. Esok adalah hari sama seperti kemarin, tak ada yang berubah sedikitpun.

"Bagaimana? Apa aku bisa memulainya?"

"Ya, tentu."

"Siapa yang mengundang kau datang kemari?" lemparan pertanyaan dari pria di hadapannya berseragam abu abu.

"Rakyat.” Ucap jaksa muda tanpa basa-basi.

"Siapa yang kau maksud?"

"Rakyat." Ucapnya tuk kedua kalinya.

"Lontarkan jawaban yang jelas! Jangan membuat wibawamu jatuh dengan hal sepele!"

"Sepele? Menurutmu kasus ini sepele? Setelah serigala itu kau masukkan dalam kerangkeng besi, lantas kau diam saja menunggu perintah dari atasanmu? Kau tidak merasakan ribuan mata menanti keadilan di negeri ini. Dengan beribu harapan akan mengeluarkan air dari tanah gersangnya untuk mengganjal kekosongan perut kian lamanya?" Jaksa muda tak memberi kesempatan berbicara pada anggota penegak hukum alias polisi bermuka tegang.

"Sudahlah, aku tidak menginginkan tuan membebaskan tikus berdasi dengan percuma. Aku akan buktikan tanpa apapun kebanaran dan keadilan akan meluluhlantakkan seluruh kelicikan yang tumbuh." Lanjutnya dengan nada sedikit tenang.

"Kau yakin?"

"Tentu. Sangat yakin."

"Tanpa uang? Tanpa kekuasaan?" sahut lelaki di hadapannya dengan meneguk teh jasmine yang pas untuk sore hari.

"Aku bukan manusia kotor yang mengagungkan uang dan kekuasaan di atas jeritan suara cacing tertindas. Tanpa sogokan uang! Tanpa iming-iming kekuasaan! Tanpa pandang bulu dan apapun itu!" sahut jaksa muda dengan menenteng koper hendak pergi.

"Sekalipun itu orang yang berarti di kehidupanmu?" ucapan yang buat langkah kaki jaksa muda terhenti bak pohon tumbang.

"Hukum tak pernah berat sebelah. Hukum tetaplah hukum." Kata terakhir penutup pembicaraan gersang di ruang penegak hukum itu.

Diarrr..

Gesekan daun pintu dengan dinding membuat aparat penegak hukum tidak percaya kejadian luar biasa telah terjadi di hadapannya. Seorang jaksa muda yang gagah, ucapannya bak air mengalir dengan tenang dan arah yang pasti, tak memikirkan seberapa hebat angin yang akan merobohkan sebatang pohon dengan akar sedikit tersisa.

"Sungguh luar biasa kekuatan hati nurani singa lapar itu dan kepatuhannya terhadap kekangan hukum." Pekik pria berseragam abui-abu dengan menghabiskan teh jasmine yang tersisa.

Di permukaan bumi yang berbeda, jaksa muda menemui lelaki berjenggot putih, sudah menua. Ditemuinya dengan kondisi tertidur pulas, meringkuk tanpa hangatnya selimut bulu. Dengan suara yang empuk, jaksa muda mendekati lelaki yang tengah membelakanginya dan berucap,
"Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku. Siapapun yang berbuat salah, harus diberi sanksi yang tegas." Kata jaksa muda sambil mengelap keringat bercampur air mata di sudut bui.

Lagi-lagi pria paruh baya masih meringkuk lemas, nampak telah siap menerima nasib. Layaknya kayu yang sudah terhasut korek tuk membakar dirinya sendiri, nahas, kini kayu itu sudah menjadi abu yang akan diterbangkan ke langit kebebasan.

Esok hari.

"Siap Pak." Seru sekretaris jaksa muda usai mengemasi data di laci kantor atasannya untuk persidangan nanti.

Pagi yang cerah untuk semua orang, tapi tidak untuk jaksa muda. Perasaan bimbang dan cemas menghantui pikirannya sejak kemarin. Hingga cara untuk tidur ia melupakannya. Begadang semalaman, tidak membuat langkahnya tunduk akan kejahatan korupsi yang membara di negeri ini. Air matanya akan terhenti ketika kebahagiaannya menguap dengan girangnya.

"Satu jam lagi sidangnya akan dimulai, Pak." Ucap suara seorang wanita lewat ponsel.

"Ya, saya akan datang lebih awal." Kalimat terakhir jaksa muda sembari menutup panggilan.

Hanya ditemani dua helai roti selai kacang bertumpuk dan air mineral 250 ml, jaksa muda melancarkan aksinya di negeri Ibu Pertiwi. Di tengah-tengah kemacetan kota besar dipenuhi beribu orang hasil migrasi penduduk. Pengangguran dan kejahatan sudah menjadi makanan keseharian kota ini. Korupsi jadi hidangan penutup tindak kriminal yang tak henti hentinya membara layaknya api dari goresan batu kecil.

Tanpa uang, kebenaran dan keadilan adalah hal yang mustahil terjadi. Tanpa kekuasaan, kepekaan dan sikap toleransi tak akan melekat menjadi jati diri. Tak ada satupun yang akan membuka borgol hukum, selain kuncinya.

"Tuan, sudah sampai." Kata sopir pribadi pria berjas biru laut. Sopir, ya, Pak Hariman orang yang setia menemani jaksa muda hingga detik yang membingungkan ini.

"Sudah ganteng Pak, Bapak adalah orang tergagah sejagat raya." Sergap jaksa muda seraya menahan gelak tawa melihat sopirnya mengaca di spion selama sepuluh menit.

"Tuan ini bisa saja. Tuan adalah orang pertama yang berkata saya ini gagah." Sahutnya sembari melanjutkan mengaca dengan sisir di tangan kanan dan pomade di tangan kiri. Sungguh lucu, sedikit menjengkelkan pula.

"Apa Tuan perlu dijaga sampai ke dalam pengadilan? Saya siap sedia!" ucapnya dengan semangat tanpa pandang jenggot.

"Tidak perlu, tidak ada yang akan menggoda saya. Saya malah khawatir, bapak yang digoda para hakim perempuan disini. Soalnya bapak typical pendamping hakim katanya." Bisik konyol pria gagah ke telinganya. Gelagat salah tingkah terpancar sempurna di wajahnya. Nampaknya dia menganggap perkataan ini serius.

Sungguh konyol.

Tokk.. Tok.. Tokk..

Suara palu hakim menggemakan seisi ruangan meja hijau, sunyi, sepi.

"Terdakwa kasus korupsi, apakah anda siap menjalani sidang siang ini?"

"Siap."

"Terdakwa, apakah anda siap menjalani sidang dengan tertib?"

"Siap." Jawab terdakwa dengan topi melekat sempurna bertumpuk dengan rambut beruban lebat.

"Tuan jaksa, apakah anda siap menjalani sidang dengan jujur dan mengutamakan keadilan?"

"Saya selalu siap merenggut kembali hak rakyat yang tidak seharusnya diambil." Seru jaksa muda disahuti dengan sorakan lima orang perwakilan rakyat yang merasa diinjak. Suasana sedikit ricuh dan bising. Udara pengap tak lagi dipungkiri. Pendingin ruangan nampak menyala dengan sia sia.

"Harap hadirin sidang siang ini tenang, agar proses pengadilan berjalan lancar dan cepat." Pak hakim mencoba memperingatkan sambil memukul palu kebanggaannya. Keadaan sudah seperti surutnya pantai, tenang.

"Terdakwa, mohon beri kesaksian atas tuduhan yang menimpa anda atas kasus korupsi uang pembangunan untuk rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah." Kata Yang Mulia Hakim Ketua yang mengawali keadaan tegang.

"Saya tidak merasa melakukan hal itu."

"Lantas bagaimana upaya pembelaan atas tuduhan yang menimpa anda?"

Diam membisu.

Masih terdiam seribu kata.

"Saudara terdakwa, apakah anda tidak membawa pengacara untuk membela anda?"

"Tidak."

"Mengapa? Lantas benar atas tuduhan yang menimpa anda."

"Saya tidak pernah merasa melakukan hal itu." Jawaban si terdakwa yang membuat Hakim tidak melanjutkan perkataannya, entah apa yang sedang terjadi.

"Saya telah kehilangan semuanya. Harta, tahta, kebahagiaan dan semuanya. Istri, anak, teman dekat semuanya meninggalkanku tanpa kata selamat tinggal. Saat aku terjerat kasus seperti ini, rasanya hidupku seakan tak berguna, pedih, ganas layaknya percikan lava panas. Hukumlah aku, aku rasa dengan mengambil hak cacing kumuh itu, hidupku akan kembali bahagia, nyaman dan harmonis. Dan... "

Menghening.

"Dan kini semuanya akan usai. Hidupku telah hancur." Rintihnya kian mendalam.

"Hei serigala! Kau tak perlu banyak mulut disini. Ucapkanlah kebenaran yang ada, tak perlu membawa urusan kau dengan keluargamu atau anakmu! Hukum tetaplah hukum!" ucap salah seorang yang duduk di bangku belakang.

"Diam!"

"Memang dia adalah orang yang memakan hak kalian! Tapi ingat, dia adalah pria paruh baya yang senantiasa membesarkan anaknya penuh kasih sayang. Dia berhak atas keluargannya bahkan anaknya sekaligus. Anggap saja dia orang tua anda sekalian! Apa kalian tega berbicara pedas seperti itu!" Pekik jaksa muda yang tak pedulikan baju kusut karena emosi meluap.

"Sudahlah, Nak. Lanjutkan tugas muliamu, ikutilah hati nuranimu. Jangan pikirkan seekor serigala yang pernah mengaum di negerimu ini. Serigala yang memakan biri biri tanpa dosa. Serigala yang tak henti hentinya mencari mangsa, tanpa dosa di pikirannya. Detik ini, maut untuk serigala terkutuk akan sampai." Sahut lelaki 68 tahun yang tengah menitih sakit jantung. Lagi-lagi ikatan pria berbaju oranye khas tawanan itu menarik hati jaksa muda tuk berbicara pada air mata yang kini meluap dengan tenang, lama lama menjadi deras. Apa-apaan ini?.

"Apakah sidang bisa dilanjutkan kembali? Semuanya harap tenang dan duduk kembali ke tempatnya." Sahut penegak keadilan, Yang Mulia Hakim. Suasana kembali terasa menakutkan.

"Tuan pengacara bisa menyampaikan argumen yang kuat dan bukti faktual untuk memberatkan tersangka." Yang Mulia Hakim mempersilahkan kepada jaksa muda, perkataan itulah yang membuat jaksa muda menarik napas tuk berbicara. Berbekal selembar sapu tangan, bekas air mata jaksa muda tampan telah hilang.

"Siang semuanya. Saya disini perwakilan atas nama rakyat yang merasa dirugikan atas tindak korupsi pembangunan untuk rakyat. Tidak hanya materi, mental pun ikut jadi korban atas tindak kejahatan satu ini. Para rakyat yang terlantar tanpa genggaman nasi atau air di tangannya. Baju sama, celana sama, dan wajah suram yang sama. Itu akibat dari tindakan individual yang buat kesengsaraan beruntun pada rakyat Indonesia. Mereka hanya cacing cacing yang tertimbun tanpa ada penolakan. Mereka tak punya daya upaya untuk melawan. Habis sudah." Jaksa muda menghela napas.

"Kesempatan kali ini, saya menyampaikan tuntutan dan keinginan rakyat untuk menghukum semua orang yang memakan hak bukan miliknya. Keadilan layaknya kedua sayap burung yang adil tanpa menjatuhkan sisi yang lain." Lega, itu yang dirasakan pria tampan selama lima menit berbicara dengan semua mata menatap kearahnya. Tanpa kata, tanpa kegaduhan saat itu.

"Bagaimana terdakwa, apakah anda menerima semua tuntutan dari pengacara atas nama rakyat?"

"Ya saya menerimannya, biarlah mereka mengambil sesuap nasi yang sudah saya telan." Seru lelaki itu, lagi lagi memegang dadanya dengan cukup erat. Hati jaksa muda terenyuh bagai diterjang ombak keras. Air mata yang berbicara. Tak bisa berkutik dengan keadaan yang menjepit seorang pembela kebenaran dengan keras.

Hari sudah mulai sore. Sorot mata jaksa muda menatap awan biru menjelang merah lewat jendela bening dan kering, tanpa sentuhan hujan. Menunggu detik-detik mendebarkan akan dibawa kemana negeri ini. Sumbu tombaknya akan patah dan akan terganti dengan gagang tombak yang rata tanpa lancip diatas.

"Setelah kami berunding, saya memutuskan, terdakwa terbukti bersalah dengan melenyapkan uang rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah. Serta dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun." kata lelaki berjubah hitam dengan senjata palu di tangan.

Keputusan hakim sudah menumbuhkan perasaan lega bagi yang mendengarnya. Tak ada lagi tangisan cacing tertimbun. Hanya ada sorakan gembira seakan telah terjadi hujan mutiara bak negeri dongeng.

"Tuan?"

"Tuan?" panggil Pak Hariman pada Tuannya untuk kedua kali.

Tak ada sahutan.

"Tuan?" suara Pak Hariman nampak ketiga kalinya memanggil tuannya yang tengah melamun hebat.

"Maaf-maaf, saya tidak menyadari ada Pak Hariman disini." Sambung jaksa muda sambil menghilangkan pikiran kosong yang melintas di benaknya.

"Apakah Tuan sudah hendak pulang? Mari saya bawakan kopernya." Ucap Pak Hariman dengan mengambil koper hitam yang tergeletak di sandaran pintu meja hijau.

"Terima kasih, anda jalan duluan saja. Nanti saya susul."

"Siap." Sahutnya dengan penuh semangat membara.

Hitungan waktu keadilan telah usai. Kepawaian jaksa muda telah terbukti. Namanya, karirnya, telah dijunjung hebat oleh rakyat. Detik-detik melemaskan di meja hijau telah berakhir tumpul. Yah, keadilan dan kebebasan telah direnggut kembali untuk disembahkan kepada rakyat dasar tombak.
Kini, jaksa muda hanya bisa berucap, "Maafkan aku untuk 9 jam yang menyakitkan. Maafkan aku untuk 15 tahun kedepan yang suram. Aku janji akan mengunjungimu sesering mungkin dipenjara, Ayah."