Selasa, 10 April 2018

Cerpen Bertemakan Anti Korupsi


Lentera Keadilan




Seorang lelaki tampan dengan gagah menerjang sekumpulan rakyat yang tengah kelaparan. Berbekal spanduk bekas, toak dan semangat layaknya anjing menggonggong dengan hebat. Kilat lampu terpancar dari sisi kanan, memantulkan cahaya ke arah seorang lelaki menjuntai dengan rantai di tangan. Hanya mata yang terlihat. Kegaduhan semakin lama semakin menjadi jadi. Gendang telinga nampak tak kuat menopang suara halus sekalipun.
 
"Semuannya diam!!" teriak lelaki gagah dari sudut halaman gedung bertajuk kantor polisi. Seketika suasana menghening, hanya hembusan napas yang terdengar jelas. Semua mata tertuju padanya, pria berjas hitam dengan koper melekat sempurna di tangan kanannya.

"Siapa dia!! Pasti teman serigala itu! Hujat dia!" teriakan seorang wanita berambut kepang belakang.

Tak ada sautan. Beberapa detik kemudian ada yang menyaut,

"Kau bodoh! Kau tak tahu siapa pria gagah itu?" ucap salah seorang massa yang menuntut timbangan seimbang.

"Memangnya siapa dia? Begitu pentingkah dia bagi kalian semua? Hingga melupakan tujuan awal datang ke tempat terkutuk ini!!" sahut wanita itu dengan emosi meluap.

"Dia jaksa muda berbakat, sudah tidak asing lagi baginya menangani kasus seperti ini. Kami semua yakin, dia akan mengadili kasus korupsi dengan seadil-adilnya. Negara ini akan roboh jika tak ada jaksa muda itu!" jawabnya dengan keadaan suasana semakin menghening.

Obrolan rakyat terinjak telah usai.

"Lakukan yang terbaik untuk kami!! Hukum mati koruptor itu!"
Kekompakan mereka semakin membuat jaksa muda menginginkan tonggak kebenaran dan keadilan berkibar di negeri ini. Sontak hati nurani akan membangkitkan bunga layu tuk kembali bermekaran menghirup udara tanpa kekang. Esok akan tercabut segerombol parasit bunga untuk menentramkan kehidupan di negeri ini. Esok adalah hari sama seperti kemarin, tak ada yang berubah sedikitpun.

"Bagaimana? Apa aku bisa memulainya?"

"Ya, tentu."

"Siapa yang mengundang kau datang kemari?" lemparan pertanyaan dari pria di hadapannya berseragam abu abu.

"Rakyat.” Ucap jaksa muda tanpa basa-basi.

"Siapa yang kau maksud?"

"Rakyat." Ucapnya tuk kedua kalinya.

"Lontarkan jawaban yang jelas! Jangan membuat wibawamu jatuh dengan hal sepele!"

"Sepele? Menurutmu kasus ini sepele? Setelah serigala itu kau masukkan dalam kerangkeng besi, lantas kau diam saja menunggu perintah dari atasanmu? Kau tidak merasakan ribuan mata menanti keadilan di negeri ini. Dengan beribu harapan akan mengeluarkan air dari tanah gersangnya untuk mengganjal kekosongan perut kian lamanya?" Jaksa muda tak memberi kesempatan berbicara pada anggota penegak hukum alias polisi bermuka tegang.

"Sudahlah, aku tidak menginginkan tuan membebaskan tikus berdasi dengan percuma. Aku akan buktikan tanpa apapun kebanaran dan keadilan akan meluluhlantakkan seluruh kelicikan yang tumbuh." Lanjutnya dengan nada sedikit tenang.

"Kau yakin?"

"Tentu. Sangat yakin."

"Tanpa uang? Tanpa kekuasaan?" sahut lelaki di hadapannya dengan meneguk teh jasmine yang pas untuk sore hari.

"Aku bukan manusia kotor yang mengagungkan uang dan kekuasaan di atas jeritan suara cacing tertindas. Tanpa sogokan uang! Tanpa iming-iming kekuasaan! Tanpa pandang bulu dan apapun itu!" sahut jaksa muda dengan menenteng koper hendak pergi.

"Sekalipun itu orang yang berarti di kehidupanmu?" ucapan yang buat langkah kaki jaksa muda terhenti bak pohon tumbang.

"Hukum tak pernah berat sebelah. Hukum tetaplah hukum." Kata terakhir penutup pembicaraan gersang di ruang penegak hukum itu.

Diarrr..

Gesekan daun pintu dengan dinding membuat aparat penegak hukum tidak percaya kejadian luar biasa telah terjadi di hadapannya. Seorang jaksa muda yang gagah, ucapannya bak air mengalir dengan tenang dan arah yang pasti, tak memikirkan seberapa hebat angin yang akan merobohkan sebatang pohon dengan akar sedikit tersisa.

"Sungguh luar biasa kekuatan hati nurani singa lapar itu dan kepatuhannya terhadap kekangan hukum." Pekik pria berseragam abui-abu dengan menghabiskan teh jasmine yang tersisa.

Di permukaan bumi yang berbeda, jaksa muda menemui lelaki berjenggot putih, sudah menua. Ditemuinya dengan kondisi tertidur pulas, meringkuk tanpa hangatnya selimut bulu. Dengan suara yang empuk, jaksa muda mendekati lelaki yang tengah membelakanginya dan berucap,
"Maafkan aku, sekali lagi maafkan aku. Siapapun yang berbuat salah, harus diberi sanksi yang tegas." Kata jaksa muda sambil mengelap keringat bercampur air mata di sudut bui.

Lagi-lagi pria paruh baya masih meringkuk lemas, nampak telah siap menerima nasib. Layaknya kayu yang sudah terhasut korek tuk membakar dirinya sendiri, nahas, kini kayu itu sudah menjadi abu yang akan diterbangkan ke langit kebebasan.

Esok hari.

"Siap Pak." Seru sekretaris jaksa muda usai mengemasi data di laci kantor atasannya untuk persidangan nanti.

Pagi yang cerah untuk semua orang, tapi tidak untuk jaksa muda. Perasaan bimbang dan cemas menghantui pikirannya sejak kemarin. Hingga cara untuk tidur ia melupakannya. Begadang semalaman, tidak membuat langkahnya tunduk akan kejahatan korupsi yang membara di negeri ini. Air matanya akan terhenti ketika kebahagiaannya menguap dengan girangnya.

"Satu jam lagi sidangnya akan dimulai, Pak." Ucap suara seorang wanita lewat ponsel.

"Ya, saya akan datang lebih awal." Kalimat terakhir jaksa muda sembari menutup panggilan.

Hanya ditemani dua helai roti selai kacang bertumpuk dan air mineral 250 ml, jaksa muda melancarkan aksinya di negeri Ibu Pertiwi. Di tengah-tengah kemacetan kota besar dipenuhi beribu orang hasil migrasi penduduk. Pengangguran dan kejahatan sudah menjadi makanan keseharian kota ini. Korupsi jadi hidangan penutup tindak kriminal yang tak henti hentinya membara layaknya api dari goresan batu kecil.

Tanpa uang, kebenaran dan keadilan adalah hal yang mustahil terjadi. Tanpa kekuasaan, kepekaan dan sikap toleransi tak akan melekat menjadi jati diri. Tak ada satupun yang akan membuka borgol hukum, selain kuncinya.

"Tuan, sudah sampai." Kata sopir pribadi pria berjas biru laut. Sopir, ya, Pak Hariman orang yang setia menemani jaksa muda hingga detik yang membingungkan ini.

"Sudah ganteng Pak, Bapak adalah orang tergagah sejagat raya." Sergap jaksa muda seraya menahan gelak tawa melihat sopirnya mengaca di spion selama sepuluh menit.

"Tuan ini bisa saja. Tuan adalah orang pertama yang berkata saya ini gagah." Sahutnya sembari melanjutkan mengaca dengan sisir di tangan kanan dan pomade di tangan kiri. Sungguh lucu, sedikit menjengkelkan pula.

"Apa Tuan perlu dijaga sampai ke dalam pengadilan? Saya siap sedia!" ucapnya dengan semangat tanpa pandang jenggot.

"Tidak perlu, tidak ada yang akan menggoda saya. Saya malah khawatir, bapak yang digoda para hakim perempuan disini. Soalnya bapak typical pendamping hakim katanya." Bisik konyol pria gagah ke telinganya. Gelagat salah tingkah terpancar sempurna di wajahnya. Nampaknya dia menganggap perkataan ini serius.

Sungguh konyol.

Tokk.. Tok.. Tokk..

Suara palu hakim menggemakan seisi ruangan meja hijau, sunyi, sepi.

"Terdakwa kasus korupsi, apakah anda siap menjalani sidang siang ini?"

"Siap."

"Terdakwa, apakah anda siap menjalani sidang dengan tertib?"

"Siap." Jawab terdakwa dengan topi melekat sempurna bertumpuk dengan rambut beruban lebat.

"Tuan jaksa, apakah anda siap menjalani sidang dengan jujur dan mengutamakan keadilan?"

"Saya selalu siap merenggut kembali hak rakyat yang tidak seharusnya diambil." Seru jaksa muda disahuti dengan sorakan lima orang perwakilan rakyat yang merasa diinjak. Suasana sedikit ricuh dan bising. Udara pengap tak lagi dipungkiri. Pendingin ruangan nampak menyala dengan sia sia.

"Harap hadirin sidang siang ini tenang, agar proses pengadilan berjalan lancar dan cepat." Pak hakim mencoba memperingatkan sambil memukul palu kebanggaannya. Keadaan sudah seperti surutnya pantai, tenang.

"Terdakwa, mohon beri kesaksian atas tuduhan yang menimpa anda atas kasus korupsi uang pembangunan untuk rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah." Kata Yang Mulia Hakim Ketua yang mengawali keadaan tegang.

"Saya tidak merasa melakukan hal itu."

"Lantas bagaimana upaya pembelaan atas tuduhan yang menimpa anda?"

Diam membisu.

Masih terdiam seribu kata.

"Saudara terdakwa, apakah anda tidak membawa pengacara untuk membela anda?"

"Tidak."

"Mengapa? Lantas benar atas tuduhan yang menimpa anda."

"Saya tidak pernah merasa melakukan hal itu." Jawaban si terdakwa yang membuat Hakim tidak melanjutkan perkataannya, entah apa yang sedang terjadi.

"Saya telah kehilangan semuanya. Harta, tahta, kebahagiaan dan semuanya. Istri, anak, teman dekat semuanya meninggalkanku tanpa kata selamat tinggal. Saat aku terjerat kasus seperti ini, rasanya hidupku seakan tak berguna, pedih, ganas layaknya percikan lava panas. Hukumlah aku, aku rasa dengan mengambil hak cacing kumuh itu, hidupku akan kembali bahagia, nyaman dan harmonis. Dan... "

Menghening.

"Dan kini semuanya akan usai. Hidupku telah hancur." Rintihnya kian mendalam.

"Hei serigala! Kau tak perlu banyak mulut disini. Ucapkanlah kebenaran yang ada, tak perlu membawa urusan kau dengan keluargamu atau anakmu! Hukum tetaplah hukum!" ucap salah seorang yang duduk di bangku belakang.

"Diam!"

"Memang dia adalah orang yang memakan hak kalian! Tapi ingat, dia adalah pria paruh baya yang senantiasa membesarkan anaknya penuh kasih sayang. Dia berhak atas keluargannya bahkan anaknya sekaligus. Anggap saja dia orang tua anda sekalian! Apa kalian tega berbicara pedas seperti itu!" Pekik jaksa muda yang tak pedulikan baju kusut karena emosi meluap.

"Sudahlah, Nak. Lanjutkan tugas muliamu, ikutilah hati nuranimu. Jangan pikirkan seekor serigala yang pernah mengaum di negerimu ini. Serigala yang memakan biri biri tanpa dosa. Serigala yang tak henti hentinya mencari mangsa, tanpa dosa di pikirannya. Detik ini, maut untuk serigala terkutuk akan sampai." Sahut lelaki 68 tahun yang tengah menitih sakit jantung. Lagi-lagi ikatan pria berbaju oranye khas tawanan itu menarik hati jaksa muda tuk berbicara pada air mata yang kini meluap dengan tenang, lama lama menjadi deras. Apa-apaan ini?.

"Apakah sidang bisa dilanjutkan kembali? Semuanya harap tenang dan duduk kembali ke tempatnya." Sahut penegak keadilan, Yang Mulia Hakim. Suasana kembali terasa menakutkan.

"Tuan pengacara bisa menyampaikan argumen yang kuat dan bukti faktual untuk memberatkan tersangka." Yang Mulia Hakim mempersilahkan kepada jaksa muda, perkataan itulah yang membuat jaksa muda menarik napas tuk berbicara. Berbekal selembar sapu tangan, bekas air mata jaksa muda tampan telah hilang.

"Siang semuanya. Saya disini perwakilan atas nama rakyat yang merasa dirugikan atas tindak korupsi pembangunan untuk rakyat. Tidak hanya materi, mental pun ikut jadi korban atas tindak kejahatan satu ini. Para rakyat yang terlantar tanpa genggaman nasi atau air di tangannya. Baju sama, celana sama, dan wajah suram yang sama. Itu akibat dari tindakan individual yang buat kesengsaraan beruntun pada rakyat Indonesia. Mereka hanya cacing cacing yang tertimbun tanpa ada penolakan. Mereka tak punya daya upaya untuk melawan. Habis sudah." Jaksa muda menghela napas.

"Kesempatan kali ini, saya menyampaikan tuntutan dan keinginan rakyat untuk menghukum semua orang yang memakan hak bukan miliknya. Keadilan layaknya kedua sayap burung yang adil tanpa menjatuhkan sisi yang lain." Lega, itu yang dirasakan pria tampan selama lima menit berbicara dengan semua mata menatap kearahnya. Tanpa kata, tanpa kegaduhan saat itu.

"Bagaimana terdakwa, apakah anda menerima semua tuntutan dari pengacara atas nama rakyat?"

"Ya saya menerimannya, biarlah mereka mengambil sesuap nasi yang sudah saya telan." Seru lelaki itu, lagi lagi memegang dadanya dengan cukup erat. Hati jaksa muda terenyuh bagai diterjang ombak keras. Air mata yang berbicara. Tak bisa berkutik dengan keadaan yang menjepit seorang pembela kebenaran dengan keras.

Hari sudah mulai sore. Sorot mata jaksa muda menatap awan biru menjelang merah lewat jendela bening dan kering, tanpa sentuhan hujan. Menunggu detik-detik mendebarkan akan dibawa kemana negeri ini. Sumbu tombaknya akan patah dan akan terganti dengan gagang tombak yang rata tanpa lancip diatas.

"Setelah kami berunding, saya memutuskan, terdakwa terbukti bersalah dengan melenyapkan uang rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah. Serta dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun." kata lelaki berjubah hitam dengan senjata palu di tangan.

Keputusan hakim sudah menumbuhkan perasaan lega bagi yang mendengarnya. Tak ada lagi tangisan cacing tertimbun. Hanya ada sorakan gembira seakan telah terjadi hujan mutiara bak negeri dongeng.

"Tuan?"

"Tuan?" panggil Pak Hariman pada Tuannya untuk kedua kali.

Tak ada sahutan.

"Tuan?" suara Pak Hariman nampak ketiga kalinya memanggil tuannya yang tengah melamun hebat.

"Maaf-maaf, saya tidak menyadari ada Pak Hariman disini." Sambung jaksa muda sambil menghilangkan pikiran kosong yang melintas di benaknya.

"Apakah Tuan sudah hendak pulang? Mari saya bawakan kopernya." Ucap Pak Hariman dengan mengambil koper hitam yang tergeletak di sandaran pintu meja hijau.

"Terima kasih, anda jalan duluan saja. Nanti saya susul."

"Siap." Sahutnya dengan penuh semangat membara.

Hitungan waktu keadilan telah usai. Kepawaian jaksa muda telah terbukti. Namanya, karirnya, telah dijunjung hebat oleh rakyat. Detik-detik melemaskan di meja hijau telah berakhir tumpul. Yah, keadilan dan kebebasan telah direnggut kembali untuk disembahkan kepada rakyat dasar tombak.
Kini, jaksa muda hanya bisa berucap, "Maafkan aku untuk 9 jam yang menyakitkan. Maafkan aku untuk 15 tahun kedepan yang suram. Aku janji akan mengunjungimu sesering mungkin dipenjara, Ayah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar