Lentera Keadilan
Seorang lelaki tampan dengan gagah
menerjang sekumpulan rakyat yang tengah kelaparan. Berbekal spanduk bekas, toak
dan semangat layaknya anjing menggonggong dengan hebat. Kilat lampu terpancar
dari sisi kanan, memantulkan cahaya ke arah seorang lelaki menjuntai dengan
rantai di tangan. Hanya mata yang terlihat. Kegaduhan semakin lama semakin
menjadi jadi. Gendang telinga nampak tak kuat menopang suara halus sekalipun.
"Semuannya diam!!" teriak
lelaki gagah dari sudut halaman gedung bertajuk kantor polisi. Seketika suasana
menghening, hanya hembusan napas yang terdengar jelas. Semua mata tertuju
padanya, pria berjas hitam dengan koper melekat sempurna di tangan kanannya.
"Siapa dia!! Pasti teman serigala
itu! Hujat dia!" teriakan seorang wanita berambut kepang belakang.
Tak ada sautan. Beberapa detik kemudian
ada yang menyaut,
"Kau bodoh! Kau tak tahu siapa pria
gagah itu?" ucap salah seorang massa yang menuntut timbangan seimbang.
"Memangnya siapa dia? Begitu
pentingkah dia bagi kalian semua? Hingga melupakan tujuan awal datang ke tempat
terkutuk ini!!" sahut wanita itu dengan emosi meluap.
"Dia jaksa muda berbakat, sudah tidak asing lagi
baginya menangani kasus seperti ini. Kami semua yakin, dia akan mengadili kasus
korupsi dengan seadil-adilnya. Negara ini akan roboh jika tak ada jaksa muda itu!"
jawabnya dengan keadaan suasana semakin menghening.
Obrolan rakyat terinjak telah usai.
"Lakukan yang terbaik untuk kami!!
Hukum mati koruptor itu!"
Kekompakan mereka semakin membuat jaksa muda menginginkan
tonggak kebenaran dan keadilan berkibar di negeri ini. Sontak hati nurani akan
membangkitkan bunga layu tuk kembali bermekaran menghirup udara tanpa kekang.
Esok akan tercabut segerombol parasit bunga untuk menentramkan kehidupan di
negeri ini. Esok
adalah hari sama seperti kemarin, tak ada yang berubah sedikitpun.
"Bagaimana? Apa aku bisa
memulainya?"
"Ya, tentu."
"Siapa yang mengundang kau datang
kemari?" lemparan pertanyaan dari pria di hadapannya berseragam abu abu.
"Rakyat.” Ucap jaksa muda tanpa basa-basi.
"Siapa yang kau
maksud?"
"Rakyat." Ucapnya tuk
kedua kalinya.
"Lontarkan jawaban yang jelas!
Jangan membuat wibawamu jatuh dengan hal sepele!"
"Sepele? Menurutmu kasus ini
sepele? Setelah serigala itu kau masukkan dalam kerangkeng besi, lantas kau
diam saja menunggu perintah dari atasanmu? Kau tidak merasakan ribuan mata
menanti keadilan di negeri ini. Dengan beribu harapan akan mengeluarkan air
dari tanah gersangnya untuk mengganjal kekosongan perut kian lamanya?" Jaksa muda tak memberi kesempatan
berbicara pada anggota penegak hukum alias polisi bermuka tegang.
"Sudahlah, aku tidak menginginkan
tuan membebaskan tikus berdasi dengan percuma. Aku akan buktikan tanpa apapun
kebanaran dan keadilan akan meluluhlantakkan seluruh kelicikan yang
tumbuh." Lanjutnya
dengan nada sedikit tenang.
"Kau yakin?"
"Tentu. Sangat yakin."
"Tanpa uang? Tanpa kekuasaan?"
sahut lelaki di hadapannya dengan meneguk teh jasmine yang pas untuk
sore hari.
"Aku bukan manusia kotor yang
mengagungkan uang dan kekuasaan di atas jeritan suara cacing tertindas. Tanpa
sogokan uang! Tanpa iming-iming
kekuasaan! Tanpa pandang bulu dan apapun itu!" sahut jaksa muda dengan menenteng
koper hendak pergi.
"Sekalipun itu orang yang
berarti di kehidupanmu?" ucapan yang buat langkah kaki jaksa muda terhenti
bak pohon tumbang.
"Hukum tak pernah berat sebelah.
Hukum tetaplah hukum." Kata
terakhir penutup pembicaraan gersang di ruang penegak hukum itu.
Diarrr..
Gesekan daun pintu dengan dinding
membuat aparat penegak hukum tidak percaya kejadian luar biasa telah terjadi di
hadapannya. Seorang jaksa muda yang
gagah, ucapannya bak air mengalir dengan tenang dan arah yang pasti, tak
memikirkan seberapa hebat angin yang akan merobohkan sebatang pohon dengan akar sedikit tersisa.
"Sungguh luar biasa
kekuatan hati nurani singa lapar itu dan kepatuhannya terhadap kekangan
hukum." Pekik pria berseragam abui-abu dengan menghabiskan teh jasmine
yang tersisa.
Di permukaan bumi yang berbeda, jaksa muda menemui lelaki
berjenggot putih, sudah menua. Ditemuinya dengan kondisi tertidur pulas,
meringkuk tanpa hangatnya selimut bulu. Dengan suara yang empuk, jaksa muda mendekati lelaki yang tengah membelakanginya
dan berucap,
"Maafkan aku, sekali lagi maafkan
aku. Siapapun yang berbuat salah, harus diberi sanksi yang tegas." Kata jaksa muda sambil mengelap keringat bercampur
air mata di sudut bui.
Lagi-lagi pria paruh baya masih
meringkuk lemas, nampak telah siap menerima nasib. Layaknya kayu yang sudah
terhasut korek tuk membakar dirinya sendiri, nahas, kini kayu itu sudah menjadi
abu yang akan diterbangkan ke langit kebebasan.
Esok hari.
"Siap Pak." Seru sekretaris jaksa muda usai mengemasi
data di laci kantor atasannya untuk persidangan nanti.
Pagi yang cerah untuk semua orang, tapi
tidak untuk jaksa
muda. Perasaan bimbang dan cemas menghantui pikirannya sejak kemarin. Hingga
cara untuk tidur ia melupakannya. Begadang semalaman, tidak membuat langkahnya
tunduk akan kejahatan korupsi yang membara di negeri ini. Air matanya akan
terhenti ketika kebahagiaannya menguap dengan girangnya.
"Satu jam lagi sidangnya akan
dimulai, Pak." Ucap suara
seorang wanita lewat ponsel.
"Ya, saya akan datang lebih
awal." Kalimat
terakhir jaksa muda sembari
menutup panggilan.
Hanya ditemani dua helai roti selai kacang
bertumpuk dan air mineral 250 ml,
jaksa muda melancarkan aksinya di negeri Ibu Pertiwi. Di
tengah-tengah kemacetan kota
besar dipenuhi beribu orang hasil migrasi penduduk. Pengangguran dan kejahatan
sudah menjadi makanan keseharian kota ini. Korupsi jadi hidangan penutup tindak
kriminal yang tak henti hentinya membara layaknya api dari goresan batu kecil.
Tanpa uang, kebenaran dan keadilan adalah hal yang mustahil terjadi. Tanpa kekuasaan, kepekaan dan sikap toleransi tak akan melekat menjadi jati diri. Tak ada satupun yang akan membuka borgol hukum, selain kuncinya.
"Tuan, sudah sampai." Kata sopir pribadi pria
berjas biru laut. Sopir,
ya, Pak Hariman orang yang setia menemani jaksa
muda hingga detik yang membingungkan ini.
"Sudah ganteng Pak, Bapak adalah orang
tergagah sejagat raya." Sergap
jaksa muda seraya menahan
gelak tawa melihat sopirnya mengaca di
spion selama sepuluh menit.
"Tuan ini bisa saja. Tuan adalah
orang pertama yang berkata saya ini gagah." Sahutnya sembari melanjutkan mengaca
dengan sisir di tangan kanan dan pomade di tangan kiri. Sungguh lucu, sedikit
menjengkelkan pula.
"Apa Tuan perlu dijaga sampai ke
dalam pengadilan? Saya siap sedia!" ucapnya dengan semangat tanpa pandang jenggot.
"Tidak perlu, tidak ada yang akan
menggoda saya. Saya malah khawatir, bapak yang digoda para hakim perempuan
disini. Soalnya bapak typical pendamping hakim katanya." Bisik konyol pria gagah
ke telinganya. Gelagat
salah tingkah terpancar sempurna di wajahnya. Nampaknya dia menganggap
perkataan ini serius.
Sungguh konyol.
Tokk.. Tok.. Tokk..
Suara palu hakim menggemakan seisi
ruangan meja hijau, sunyi, sepi.
"Terdakwa kasus korupsi, apakah anda siap
menjalani sidang siang ini?"
"Siap."
"Terdakwa, apakah anda siap menjalani sidang
dengan tertib?"
"Siap." Jawab terdakwa dengan topi
melekat sempurna bertumpuk dengan rambut beruban lebat.
"Tuan jaksa, apakah anda siap
menjalani sidang dengan jujur dan mengutamakan keadilan?"
"Saya selalu siap
merenggut kembali hak rakyat yang tidak seharusnya diambil." Seru jaksa
muda disahuti dengan sorakan lima orang perwakilan rakyat yang merasa diinjak. Suasana
sedikit ricuh dan bising. Udara pengap tak lagi dipungkiri. Pendingin ruangan
nampak menyala dengan sia sia.
"Harap hadirin sidang siang ini
tenang, agar proses pengadilan berjalan lancar dan cepat." Pak hakim mencoba memperingatkan
sambil memukul palu kebanggaannya. Keadaan sudah seperti surutnya pantai,
tenang.
"Terdakwa, mohon beri
kesaksian atas tuduhan yang menimpa anda atas kasus korupsi uang pembangunan
untuk rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah." Kata Yang Mulia Hakim Ketua yang
mengawali keadaan tegang.
"Saya tidak merasa melakukan hal
itu."
"Lantas bagaimana upaya pembelaan
atas tuduhan yang menimpa anda?"
Diam
membisu.
Masih terdiam seribu kata.
"Saudara terdakwa, apakah anda tidak
membawa pengacara untuk membela anda?"
"Tidak."
"Mengapa? Lantas benar atas tuduhan
yang menimpa anda."
"Saya tidak pernah merasa melakukan
hal itu." Jawaban si terdakwa yang
membuat Hakim tidak melanjutkan perkataannya,
entah apa yang sedang terjadi.
"Saya telah kehilangan semuanya.
Harta, tahta, kebahagiaan dan semuanya. Istri, anak, teman dekat semuanya
meninggalkanku tanpa kata selamat tinggal. Saat aku terjerat kasus seperti ini,
rasanya hidupku seakan tak berguna, pedih, ganas layaknya percikan lava panas.
Hukumlah aku, aku rasa dengan mengambil hak cacing kumuh itu, hidupku akan
kembali bahagia, nyaman dan harmonis. Dan... "
Menghening.
"Dan kini semuanya akan usai.
Hidupku telah hancur." Rintihnya
kian mendalam.
"Hei serigala! Kau tak perlu banyak
mulut disini. Ucapkanlah kebenaran yang ada, tak perlu membawa urusan kau
dengan keluargamu atau anakmu! Hukum tetaplah hukum!" ucap salah seorang
yang duduk di bangku belakang.
"Diam!"
"Memang dia adalah orang yang
memakan hak kalian! Tapi ingat, dia adalah pria paruh baya yang senantiasa
membesarkan anaknya penuh kasih sayang. Dia berhak atas keluargannya bahkan
anaknya sekaligus. Anggap saja dia orang tua anda sekalian! Apa kalian tega berbicara
pedas seperti itu!" Pekik
jaksa muda yang tak
pedulikan baju kusut karena emosi meluap.
"Sudahlah, Nak. Lanjutkan tugas muliamu,
ikutilah hati nuranimu. Jangan pikirkan seekor serigala yang pernah mengaum di
negerimu ini. Serigala yang memakan biri biri tanpa dosa. Serigala yang tak
henti hentinya mencari mangsa, tanpa dosa di pikirannya. Detik ini, maut untuk
serigala terkutuk akan sampai." Sahut
lelaki 68 tahun yang tengah menitih sakit jantung. Lagi-lagi ikatan pria
berbaju oranye
khas tawanan itu menarik hati jaksa muda
tuk berbicara pada air mata yang kini meluap dengan tenang, lama lama menjadi
deras. Apa-apaan ini?.
"Apakah sidang bisa dilanjutkan
kembali? Semuanya harap tenang dan duduk kembali ke tempatnya." Sahut penegak keadilan, Yang Mulia Hakim. Suasana kembali terasa
menakutkan.
"Tuan pengacara bisa menyampaikan
argumen yang kuat dan bukti faktual untuk memberatkan tersangka." Yang Mulia Hakim mempersilahkan kepada jaksa muda, perkataan itulah yang membuat
jaksa muda menarik napas tuk
berbicara. Berbekal selembar sapu tangan, bekas air mata jaksa muda tampan telah hilang.
"Siang semuanya. Saya disini
perwakilan atas nama rakyat yang merasa dirugikan atas tindak korupsi
pembangunan untuk rakyat. Tidak hanya materi, mental pun ikut jadi korban atas
tindak kejahatan satu ini. Para rakyat yang terlantar tanpa genggaman nasi atau
air di tangannya. Baju sama, celana sama, dan wajah suram yang sama. Itu akibat
dari tindakan individual yang buat kesengsaraan beruntun pada rakyat Indonesia.
Mereka hanya cacing cacing yang tertimbun tanpa ada penolakan. Mereka tak punya
daya upaya untuk melawan. Habis sudah." Jaksa
muda menghela napas.
"Kesempatan kali ini, saya
menyampaikan tuntutan dan keinginan rakyat untuk menghukum semua orang yang
memakan hak bukan miliknya. Keadilan layaknya kedua sayap burung yang adil
tanpa menjatuhkan sisi yang lain." Lega, itu yang dirasakan pria tampan
selama lima menit berbicara dengan
semua mata menatap kearahnya. Tanpa kata, tanpa kegaduhan saat itu.
"Bagaimana terdakwa, apakah anda menerima
semua tuntutan dari pengacara atas nama rakyat?"
"Ya saya menerimannya, biarlah
mereka mengambil sesuap nasi yang sudah saya telan." Seru lelaki itu, lagi lagi
memegang dadanya dengan cukup erat. Hati jaksa
muda terenyuh bagai diterjang ombak keras.
Air mata yang berbicara. Tak bisa berkutik dengan keadaan yang menjepit seorang
pembela kebenaran dengan keras.
Hari sudah mulai sore. Sorot mata jaksa muda menatap awan biru
menjelang merah lewat jendela bening dan kering, tanpa sentuhan hujan. Menunggu
detik-detik mendebarkan akan dibawa kemana negeri ini. Sumbu tombaknya akan
patah dan akan terganti dengan gagang tombak yang rata tanpa lancip diatas.
"Setelah kami berunding, saya
memutuskan, terdakwa
terbukti bersalah dengan melenyapkan uang rakyat sebesar 4,5 milyar rupiah. Serta dijatuhi hukuman
penjara selama 15 tahun." kata lelaki berjubah hitam dengan senjata palu
di tangan.
Keputusan hakim sudah menumbuhkan
perasaan lega bagi yang mendengarnya. Tak ada lagi tangisan cacing tertimbun.
Hanya ada sorakan gembira seakan telah terjadi hujan mutiara bak negeri
dongeng.
"Tuan?"
"Tuan?" panggil Pak Hariman pada Tuannya untuk kedua kali.
Tak ada sahutan.
"Tuan?" suara Pak Hariman
nampak ketiga kalinya memanggil tuannya yang tengah melamun hebat.
"Maaf-maaf, saya tidak
menyadari ada Pak Hariman disini." Sambung jaksa muda sambil menghilangkan
pikiran kosong yang melintas di benaknya.
"Apakah Tuan sudah hendak pulang? Mari
saya bawakan kopernya." Ucap
Pak Hariman dengan mengambil koper hitam yang tergeletak di sandaran pintu meja
hijau.
"Terima kasih, anda jalan duluan
saja. Nanti saya susul."
"Siap." Sahutnya dengan penuh
semangat membara.
Hitungan waktu keadilan telah usai.
Kepawaian jaksa
muda telah terbukti. Namanya, karirnya,
telah dijunjung hebat oleh rakyat. Detik-detik melemaskan di meja hijau telah
berakhir tumpul. Yah, keadilan dan kebebasan telah direnggut kembali untuk
disembahkan kepada rakyat dasar tombak.
Kini, jaksa muda hanya bisa berucap, "Maafkan aku untuk
9 jam yang menyakitkan.
Maafkan aku untuk 15 tahun kedepan yang suram. Aku janji akan mengunjungimu
sesering mungkin dipenjara, Ayah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar